Sunday, April 22, 2012

Samarinda

Minggu lalu sang suami ngajak jalan-jalan ke Samarinda. Udah lama juga sih emang kita nggak jalan-jalan dengan mobil yang pake nginep gitu. Lagi pula cita-cita kita berdua adalah: selama tinggal di Balikpapan yang entah sampe kapan ini kita mau explore Kalimantan, at least Kalimantan Timur. Banyak loooh sebenernya wisatanya Kalimantan Timur ini! *sotoy*

Cuma karena namanya juga beranak kecil, plus mengingat keadaan akses jalan di pulau Kalimantan dari Republik Indonesia Raya yang merdeka hanya pulau Jawa ini, yaaah musti mikir-mikir juga kalau mau explore ke pedalaman gitu.

Singkat cerita pergi lah kita ke Samarinda. e tapi gue nggak berencana cerita itinirary perjalanan disana sih yaaak, untuk itu baca aja blognya anak gw. Kecil-kecil punya blog kok doi! hehehehe...

Dulu waktu gue kecil gue pernah dibawa orangtua jalan-jalan ke Samarinda. Tapi ingatan kotanya itu seperti apa kayanya udah musnah dari otak gue. Yang gue inget cuma kita jalan naik mobil dan ngelewatin jembatan sungai mahakam dan jalannya (Balikpapan - Samarinda) jelek! Kalo sekarang sih jalannya nggak terlalu jelek kok, lumayan kece lah untuk ukuran Kalimantan. Karena gue nggak punya memory tentang Samarinda, jadi lah gue rada underestimate sama kota ini. (maafkan saya warga Samarinda...)Kenapa underestimate? Simply because gue pikir sebagai kota yang mengelola minyak terbesar, Balikpapan lah kota yang jadi metropolitannya Kalimantan Timur itu juga makanya bandara ditaro di Balikpapan, bukan di Samarinda yang sebenernya ibukota KalTim. Yah.. pemikiran picik, maaf yaaa... :p

Balikpapan mungkin emang punya duit lebih banyak dari Samarinda kali ya, akibatnya kotanya lebih rapi dan terorganisir dengan baik. Tapi sebagai ibukota, Samarinda tetep punya ciri-ciri sang "ibukota": cenderung macet, ketimpangan sosial yang nyata banget, ada daerah kumuh, padat, apa lagi dah...?

Samarinda's slumdog


Pas jalan-jalan di Smarinda yang dipandu sama GPS karena laki gue nggak ngerti acan jalanan kotanya, apa lagi gue deeeeh, nggak sengaja kita ngelewatin jembatan yang menampilkan pemandangan slumdog Samarinda di pinggiran sungai kecil. Gue kaget looooh, ternyata banyak yaa imigran yang datang ke Samarinda. Gue pikir Balikpapan lah magnet para imigran di Kalimantan Timur, tapi kota dengan embel-embel ibukota tetap selalu punya magnet buat pendatang.

Kalau kata laki gue, Samarinda adalah kota yang jalan sendiri, terbangun sendiri. Balikpapan terbangun karena ada minyak, kalau nggak ada minyak mungkin Balikpapan juga nggak akan ada. Tapi Samarinda udah ada dari dulu-dulu, mereka terbangun dengan aktivitas kotanya sendiri, perputaran uang mereka sendiri. Haah, pemikiran yang kece!

Dan seperti kota-kota besar tapi bukan megapolitan di Indonesia pada umumnya, Samarinda adalah kota ruko. Dimana-mana yang lo liat adalah ruko. Ruko disini, ruko disana. Indonesia nggak bisa lebih kreatif dari ruko atau mall, titik.

eh ada tukang jajanan yang kebakaran... kasian.


Hmmm... apa lagi yaaa.

Nah kalau dulu sewaktu jadi penduduk Jabodetabek yang pengen jalan-jalan keluar jabodetabek, kita pasti masukin kuliner sebagai tujuan wisata. Yah, dengan berat hati itu nggak bisa diberlakukan di Samarinda. Nggak tau kalau mungkin kita yang belum tau kali yaaa. Tapi karena memang bukan kota pelancong mungkin, jadi nggak ada warung-warung atau resto yang tourist magnet gitu di Samarinda. Gue sempet googling tapi nemunya rekomendasi untuk jualan kaki lima gitu.... yaaaah agak refot kalo sama anak kecil yaaak. Kalo doi mejret kan kite juge yang repot. Waktu duduk-duduk di hotel tempat nginep pun sempet nanya sama orang yang ternyata penduduk Samarinda soal kuliner ajip di Samarinda, nah si mbak jawab "eeeuh... kalo saya sih biasa makan di mall. Atau ada makanan seafood yang enak di bla bla bla..." *gue lupa nama tempatnya*. Jiaaah... si mbak nawarin seafood di Samarinda ke orang Balikpapan, ya nggak main! Jelas Balikpapan seafoodnya terjamin seger, bukan nggak mungkin juga seafood Samarinda dibawa dari Balikpapan kali kaaan. Jadi kita nggak mendengarkan rekomendasi si mbak deh. :p

Eh tapi Samarinda punya mesjid luar biasa kece! Gue nggak tau nama mesjidnya apa, gue and suami bilangnya itu mesjid raya. Arsitektu eksteriornya bikin kita berasa nggak lagi ada di Indonesia, jangan salah boook tanaman hiasannya pohon kurma, dan berbuah! Kenapa gue heboh sama pohon kurma berbuah? Karena di rumah tante gue ada pohon kurma yang buat kita itu rasanya udah ajib bener tu pohon mau tumbuh mengingat tanah dan cuacanya kita beda sama Arab, tapi pohon tante gue itu nggak mau berbuah. Jadi kalo gue lihat ada pohon kurma berbuah di tanah Indonesia gue jadi rada norak gitu.... ya maap laaaaaaaah! :)) Interiornya juga kece, ada bedug gede banget yang mejeng di depan teras mesjidnya. Kalo nggak salah di Istiqlal juga ada ya? Tapi gue suka emang wisata ke mesjid yang mesjidnya kece, apa lagi bawa anak. :)

mesjid raya samarinda

si pohon kurma yang lagi berbuah

Yang istimewa lagi dari Samarinda adalah "Kampung Suku Adat Dayak", kalau nggak salah gitu deh namanya. Si kampung ini sih nggak di kota Samarinda persis, 20 menit perjalanan dari kota lah. Di kampung ini lo bisa liat orang-orang suku Dayak asli. Lucunya di Kalimantan Timur ini yang penduduk aslinya orang Dayak, nggak gampang buat lo untuk ketemu suku Dayak asli karena saking banyaknya pendatang. Lain kalau kita jalan-jalan ke Aceh atau Sumatra Barat misalkan, ngelirik dikit udah ketemu rumah bagonjong (rumah adat Minang), ngelengos dikit yang lo denger orang ngomong bahasa suku asli situ. Naaah, kalau orang Dayak ini mereka ntah hilang membaur dengan pendatang, atau menghilang ke pedalaman. Tapi mungkin gue salah yaaa... ini pengamatan subjektif lhoooo.

Jadilah melihat suku adat Dayak ini menjadi tujuan wisata yang cukup atraktif. Besides, gue selalu suka yang namanya wisata adat! Eh... gue suka segala macam wisata siiih! :p

Begitu masuk ke kampungnya pemandangan yang lo liat adalah rumah-rumah panggung yang dicat  seperti rumah biasa aja, nggak warna-warni, nggak ada ukiran, dengan motor atau kadang mobil terparkir di depan rumah. Laaaaaah.... mana rumah adatnyaaaaa??? Well, ternyata nggak semua suku di Indonesia juga yang mempertahankan desain rumah adat yang authentic kali yaaa. Maap nih kalo gue bikin perbandingan dengan suku Minang lagi yaaaak, tapi nggak susah buat lo ngeliat rumah Gadang kan yaaa kalo jalan-jalan ke Sumatra Barat? Tapi mungkin emang bentuk rumah adat Dayak yang ternyata hanya rumah panggung biasa aja ya? Atau gimana??? Yah yang jelas nggak ada yang menarik dari bangunan-bangunan kampung suku adat Dayak itu.

Tapiiiii kalau lo liat lebih teliti, keliatan lah muka-muka asli Dayak yang nongol dari balik rumah. Muka orang Dayak itu seperti muka asli orang Mongol: kulit putih, mata yang meruncing ke eksterior, tapi nggak sipit-sipit macam orang Cina juga. Dan nggak jarang lo ngeliat pemadangan nenek-nenek atau kakek-kakek dengan tato ala Dayak di lingkaran betis atau lengan. Cool! Dan kalo lo beruntung lo juga bisa liat yang kupingnya panjang ke bawah dengan anting-anting bulat ngegantung di daun kuping. Naaaah baru deh keliatan "Dayak"-nya! :)









sepuh


Yang asik dari kampung suku adat Dayak ini adalah mereka mengadakan pertunjukan tari-tarian Dayak setiap hari Minggu siang jam 2 WITA. Mereka akan pakai baju adat lengkap, sesepuhnya pun akan keluar dan pakai baju adat lengkap buat foto bareng. Pertunjukannya di tonton di atas Lamin, yang bentuknya baru deh mirip dengan bentuk rumah asli nenek moyang mereka. Pengemasan pertunjukannya lumayan kece lah, tapi jangan bayangkan macam nonton pertunjukan angklung di Saung Mang Ujo Bandung yaaa. Tapi pengemasannya OK, dan penonton pun diundang untuk nari di akhir-akhir acara. Pan kita si pelancong ini paling demen kalo udah disuruh ikutan nari ke depan biasanya pan yaaaak? hehehehe...

Di akhir pertunjukan kita boleh foto bareng anak-anak atau sesepuh yang pake baju adat. Tapi hati-hati, soalnya bayar dan bayarannya dihitung tiap jepret dan per orang Dayak yang diajak foto. Tarif foto bareng orang tua dan anak-anak beda. Jadi kalau mau foto-foto bareng orang-orang ini saran gue, matikan blits! Dan jangan pula sok-sokan ngajak semua anak-anak Dayak yang pake baju daerah buat foto bareng yeee... tekor dah lo! :))


Oh ya ada lagi... kita sempet juga main-main ke air terjun Tanah Merah. Jadi air terjunnya ini ada di sebuah desa di pinggiran Samarinda gitu lah. Dan desanya ini isinya kayanya orang Jawa semua, karena begitu kita keluar mobil langsung disambut dengan lagu keroncong Jawa hehehe... Kadang gue jadi bingung ini lagi ada di Kaimantan apa di Jogja. :p

Bagitu keluar dikit dari "komplek" air terjun itu kita ketemu dengan kebiasaan orang Indonesia yang udah jarang gue lihat kalau tinggal di kota: "gotong royong". Jadilah para ibu-ibu desa itu semua gotong royong kerja bikin kolam, tentu aja mereka nggak dibayar! Semuanya suka rela bantu untuk bikin kolam pemancingan. Dan pas lagi liat-liat buat jepret-jepret foto nggak sengaja pula ketemu sama ibu yang lagi bikin batu bata dibantu sama anak perempuannya. Yang kerja lagi-lagi perempuan. Luarrrrrr biasaaaaaaaaaa memaaaang perempuan Indenesia yaaaak! *singsingkanlenganbaju* *bangga*

ibu pembuat bata

hasil bata si Ibu dengan background para ibu-ibu yang lagi istirahat abis gali kolam

dari kelompok ibu-ibu yang lagi gotong royong :)


2 comments:

mak beL said...

Salah satu ciri "ibukota" yg melekat di Samarinda itu, tingkat kriminalitas yg tinggi, Di. Bahkan pernah gw baca, kriminalitas di Samarinda itu masuk 5 besar kota di Indonesia.

Soal kampung Pampang, gw jg pernah ksitu dan pnya pengalaman poto2 yg apes. Karena kita datang bukan pas pertunjukkan, shg ga ada protokol ba-bi-bu, dengan santainya kami jepret sana jepret sini tanpa peringatan utk membayar sebelumnya. Pada akhir sesi poto, mereka dtg berbondong2 utk menagih...TEKOR bo !!! ;p

Unknown said...

www1008
clarks outlet
superdry uk
hogan shoes
canada goose outlet
louboutin shoes
vibram five fingers
ugg boots clearance
off white jordan