Sunday, April 13, 2008
Gayo Lues
Gayo Lues adalah kabupaten baru dari provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang baru berdiri sendiri sejak tahun 2004. Sebelum menjadi kabupaten, kecamatan-kecamatan di Gayo Lues masih berada di bawah pemerintahan Kabupaten Aceh Tenggara. Bahkan sebelumnya lagi Aceh Tenggara masih bergabung dengan pemerintahan Aceh Tengah. Jadi Gayo Lues adalah kabupaten baru yang sudah mengalami dua kali pemekaran
Kabupaten Gayo Lues terdiri dari 12 kecamatan yaitu: Kecamatan Blangkejeren, Dabun Gelang, Rikit Gaib, Kenyaran, Blang Pegayon, Kuta Panjang, Blang Jerango, Terangon, Tripe jaya, Pintu Rime, Pinding, dan Putri Betung. Kabupaten ini dibatasi oleh Kabupaten Aceh Tengah, Aceh Timur, Aceh tenggara, Aceh Selatan serta Provinsi Sumatra Utara.
Gayo Lues adalah daerah tinggi yang dilalui oleh bukit barisan, dan salah satu gunung yang membatasinya adalah Gunung Louser yang cukup dikenal dunia karena hutannya yang menjadi salah satu paru-paru dunia, serta sebagai target taklukan para pendaki gunung nasional maupun internasional. Rata-rata ketinggian kabupaten ini adalah ±2700-3000 m dari permukaan laut. Saya dan rekan-rekan sejawat di Gayo menyebut kabupaten ini sebagai ”negeri di awan” seperti lagu Kla Project, karena memang ada desa-desanya yang hampir sejajar dengan awan.
Karena dikelilingi oleh gunung dan hutan, walaupun posisinya yang berada di tengah NAD dan dibatasi oleh empat kabupaten dari NAD, tetapi akses keluar yang umum dilalui oleh kendaraan hanyalah menuju Aceh Tengah serta Aceh Tenggara. Jarak tempuh kendaraan dari kota Blangkejeren menuju Aceh Tengah adalah 4-5 jam, sedangkan dari Blangkejeren ke Aceh Tenggara adalah 3 jam. Belum ada pesawat udara yang dapat mendarat di daerah ini, meski demikian Pemerintah Daerah (Pemda) sedang membangun landasan udara untuk pesawat kecil yang rencananya baru akan beroperasi tahun 2009.
Suku dan bahasa
Penduduk asli Gayo adalah orang-orang suku Gayo, sama seperti penduduk asli Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah. Kalau anda datang ke Gayo dan mencoba berbicara bahasa Aceh dengan orang-orangnya, mereka tidak akan menjawab karena pada umumnya orang Gayo tidak mengerti bahasa Aceh. Bahasa yang dipergunakan adalah bahasa Gayo yang sama sekali berbeda dengan bahasa Aceh.
Provinsi NAD sendiri adalah provinsi yang unik bagi saya. Tidak seperti provinsi di Indonesia pada umumnya yang memiliki satu suku dan satu bahasa, NAD memiliki enam suku dan enam bahasa yang berbeda, yaitu:
1. Suku Aceh dengan bahasa Aceh, yaitu penduduk dari Kabupaten Aceh Besar, Aceh Jaya, Sabang, Pidi, Aceh Utara, sebagian penduduk Aceh Barat, Aceh Selatan, Nagan Raya, dna Aceh Barat Daya
2. Suku Anak Jamu dengan bahasa Anak Jamu yang terdengar seperti bahasa Minang, yaitu bahasa dari kabupaten Simeulue, sebagian Aceh Selatan, Aceh Barat, Aceh Barat Daya, dan Nagan
3. Suku Tamiang dengan bahasa Aceh Tamiang yang hampir seperti bahasa Melayu, bahasa dari orang-orang Aceh Timur, Aceh Tamiang
4. Suku Gayo, bahasa Gayo dari Gayo Lues, Takengon, dan Bener Meriah
5. Suku Alas, bahasa Alas dari Aceh Tenggara
6. Terakhir Singkil, dengna bahasa Pak Pak, dari penduduk Aceh Singkil yang berbatasan langsung dengan Sumatra Utara.
Potensi alam
Sebagai daerah pegunungan, Gayo Lues mempunyai lahan yang subur untuk tanaman dataran tinggi. Yang paling khas dan tidak akan saya lupa dan sering saya banggakan kepada teman-teman saya yang ada di provinsi NAD adalah pohon-pohon pinusnya. Di sini benar-benar seperti lagu naik-naik ke puncak gunung, kiri-kanan jalan itu umumnya pohon cemara. Meski begitu hasil perkebunan Gayo Lues belum sebaik Aceh Tengah maupun Aceh Tenggara, maklum saja kabupaten baru. Hasil perkebunannya antara lain: padi, bawang, cabe, tebu, jagung, kopi, nira, dan mungkin masih banyak lagi yang lain.
Sedangkan hasil alamnya yang sudah ditemukan yaitu timah dan emas, tapi emas yang ditemukan hanya sedikit sehingga tambangnya pun hanya tambang kecil-kecilan.
Gayo Lues sebenarnya masih mempunyai hasil alam lainnya yang berpotensi untuk menggemukkan PAD (Penghasilan Anggaran Daerah) serta bisa menambah lahan kerja penduduknya, antara lain pabrik kertas dari pon-pohon pinusnya, pabrik korek api, serta peternakan lebah. Sebelumnya sudah pernah ada pabrik korek api milik swasta tapi sayangnya sekarang sudah gulung tikar dan pabriknya terabaikan begitu saja. Madu dari Gayo sangat nikmat karena masih sangat alami yang berasal dari lebah pedalaman hutan dari gunung-gunungnya yang masih sangat alami. Untuk mendapatkan madu, pencarinya akan menjelajah ke pedalaman hutan dan mencari sarang-sarang lebah alami, padahal kalau dibudidayakan tentunya hasil yang didapatkan bisa lebih banyak.
Selain itu, kabupaten ini juga berpotensi sebagai daerah wisata, seperti di kawasan puncak, karena pemandangannya yang jauh melebihi keindahan puncak. Tapi untuk itu pemerintah daerah harus terlebih dulu membangun dan memperbaiki akses masuk ke kabupaten ini. Selain pemandangannya, adat dan kebudayaan Gayo yang unik pun bisa menjadi objek wisata sebagai tontonan wisatawan, antara lain tarian Saman Gayo yang katanya pernah dipertontonkan di Amerika, didong (sebuah nyanyian pantun yang dibawakan oleh beberapa regu dan dinyanyikan berbalas-balasan), tarian bineus (tarian dari perempuan-perempuan muda Gayo dengan sawer yang ditusukkan ke sanggul kepala), serta pongot yang dalam bahasa Indonesia artinya tangis yaitu ratapan dengan irama yang khas dari perempuan gayo mengenai keluarga atau kampungnya yang dapat membuat haru penonton yang mendengarkan (kalau bisa mengerti bahasanya sih). Tari dan nyanyian tadi setiap tahunnya dilombakan antara pemuda-pemudi dari berbagai kecamatan.
Setiap tahun pada bulan Agustus orang-orang dari seluruh kecamatan akan berkumpul di Blangkejeren untuk menyaksikan event tahunan yaitu pacuan kuda yang diadakan selama beberapa hari. Pacuan kuda di sini tentunya tidak seperti yang kita lihat di TV, tetapi pacuan kuda secara tradisional yang jokinya adalah anak-anak yang duduk berani di atas kuda yang berlari kencang tanpa pelana dan tali kekang.
Gayo juga mempunyai hasil karya budaya yang indah yang menjadi kebanggaan orang-orangnya yaitu kain kerawang; kain rajutan dengan motif khas adat dari paduan warna hitam, kuning, merah, hijau dan oranye. Sayangnya kain kerawang masih kurang dikenal untuk lingkup nasional sekali pun. Dan kalau pun orang mengenal kain kerawang, jarang yang tahu dari mana sebenarnya kain kerawang berasal, tidak seperti kain songket dari Minang, atau kain ulos dari Batak.
Untuk masakan adat, sampai sekarang saya belum menemukan masakan adat Gayo yang benar-benar khas kecuali cicah gayo yang merupakan sambal racikan yang menggunakan daun ketumbar. Masakan yang dimakan oleh masyarakat Gayo sehari-hari umumnya sama dengan masakan orang Aceh atau pun orang Minang.
Sekarang setelah masa kerja saya di Gayo akan segera berakhir, saya yakin akan sangat merindukan Gayo dengan pemandangannya yang luar biasa serta adat mereka yang unik. Mudah-mudahan saja Pemda Gayo mampu lebih kreatif untuk membawa keunikan adat Gayo keluar dari deretan bukit barisan sehingga bisa dikenal setidaknya dalam tingkat nasional.
Ayo, enti mera ketaringeun!
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
5 comments:
Hello. This post is likeable, and your blog is very interesting, congratulations :-). I will add in my blogroll =). If possible gives a last there on my blog, it is about the TV Digital, I hope you enjoy. The address is http://tv-digital-brasil.blogspot.com. A hug.
apa sih tu tividijital tividijital, aneh bgt dah..
hahahaha...
kak, besok lo pulang yak?
aseeeeeeeeeeekkk....;)
*dalam hati, HOEKS!
oh salah ternyata, masukan dari bung dr. jefri.... negeri di awan ternyata lagunya Katon Bagaskara doang! bukan KLA project
salam kenal sobat blogger
gimana kabar kuta cane sekarang nih....
aq dah lama nggak pulang dari rantau orang....
balas ya
Bang, saya boleh minta nomor tlv nya?? Saya mau pindah tugas ke gayo lues! Mau nanya sama abang ttg sosial dan astragatra di sana!
Post a Comment