Monday, February 9, 2009

Ketupat dari Gayo

Belum lah lama aku meninggalkan Bapak serta merta meninggalkan keluarga dan kampungnya, selama itu pula Bapak sakit. Batuknya tak kunjung sembuh, malah kian parah. Bukan karena ku beliau sakit, tapi aku juga tak percaya jika karena umur. Bapak yang sudah 7 dasa warsa lebih merasakan hidup masih kuat menanami sendiri kebunnya, memarangi gulma-gulma di dalamnya, menebarkan bibit ikan di kolamnya, mengambil sendiri hasil panen kebunnya. Bapak yang begitu tebal kulihat kulit telapak tangannya karena kerja kasar, masih mampu membaca tanpa bantuan lensa, tak ada menu makanan yang dipantang selagi halal, tak ada satu pun penyakit sistemik langganan manusia berusia tua dia derita; yang aku yakini sebagai akibat baik dari kebiasannya meminum bergelas-gelas air putih sebangun tidur dan tidak pernah makan berlebih-lebihan.

Kemurahan hatinya dan Ibu telah memberikanku atap untuk tidur selama satu bulan. Tahu beliau sedang sempit hatiku karena jauh dari keluarga, beliau hibur aku dengan mengajakku menikmati kebunnya bersama Ibu, anak-anak dan cucu-cucunya. Tulus mereka menolongku tanpa berharap pamrih. Jika tahu aku berniat membalas kebaikannya dalam wujud lembaran kertas bernilai pasti merah padam muka beliau karena marah. Sungguh putih hatinya, besar hutang budiku pada Bapak.

Sebulan setelah aku meninggalkan tanah Gayo, kutelpon Ibu untuk sekedar menanyakan kabar. Masih riang suara Ibu, bangga dia anak angkat dari Jakarta masih ingat padanya. Ketika kutanyakan kabar Bapak, masih lah tenang suara Ibu mengatakan bahwa batuk Bapak tak kunjung sembuh. Ia kemudian bertanya padaku apa kira-kira sebabnya. Ibu yang polos, beliau menganggapku orang yang serba tahu.

Pada awal Ramadhan 1430 Hijriah kembali kutelpon Ibu. Kembali kutanyakan kabar Bapak, keadaan beliau tambah parah. Beliau tak bisa makan, habis kurus badannya cerita Ibu. Tak ubahnya cerita setelah Syawal kecuali Bapak yang semakin parah. Beliau bahkan tak bisa berbicara denganku di telpon.

Beberapa minggu setelahnya, setelah shalat subuh dan mulai bersiap untuk pergi kerja Papaku memberi kabar berpulangnya Bapak. Yana, anak kandung Bapak yang kuliah di Jakarta memberi kabar. Tidak keluar air mataku saat itu, kecuali aku merasa sangat beruntung sempat mengenal manusia tulus seperti beliau, semoga Allah menerima segala amal ibadahnya.

Lalu kemarin, pada hari yang sama ketika Yana memberitahukan bahwa madu yang diberikannya adalah titipan lama dari Bapak untukku, Ibu pun bercerita tentang beliau dan Bapak.

"Tak bisa kugantikan baiknya Bapakmu itu, Nak ku. Luar biasa baiknya dia. Sayang kali lah dia ke aku ni..."

Dalam terawangannya Ibu bercerita berkali-kali Bapak dalam sesak nafasnya dengan daya yang semakin melemah menyodorkan tangannya pada Ibu seperti hendak meminta maaf.

"Kenapa ken Bapak? Tinggal sikit kah umurmu kau rasa?" Ibu mencontohkan pertanyannya dengan logat Gayo yang kental.

"Mana bisa kutinggalkan ko sekarang. Ko ni manja kali kulihat, gak satu pun ko cocok; nggak dengan menantu, nggak dengan anak. Itu semua salah ku, aku yang buat ko manja kali. Aku minta maaf, Mak'e."

"Bukanlah Bapak yang banyak salah sama aku. Aku ni lah yang banyak dosaku ke Bapak" jawab Ibu.

Berkali-kali Bapak menyodorkan tangan kananya pada Ibu di hari-hari terakhirnya. Sampai pada hari terakhir hidupnya ketika beliau telah dilarikan ke rumah sakit, dengan jarum infus yang ditusukkan pada kulit tuanya, dengan masker yang menyuplai oksigen menutupi hidung dan mulutnya, dalam sesak nafasnya yang tinggal satu-satu, Bapak kembali menyodorkan tangan kanannya pada Ibu. Ibu menyambutnya, di belakang beliau dua dari empat anak laki-lakinya menemani. Dalam genggaman maafnya dengan Ibu, cerita Ibu, Bapak menengok pada salah satu anak laki-lakinya dan tertariklah nafas panjang berat terakhir beliau. Inna lillahi wa inna illahi roji'un...



Berkaca-kaca mataku mendengar cerita Ibu, merinding aku dibuatnya. Selalu kagum aku dengan Bapak, benar-benar beruntung aku mengenal beliau.

Doaku menyertai Bapak, sebagai sesama hambaNya.

No comments: