Tuesday, May 27, 2008

Pengamen cilik


Kaki kecil telanjang itu melangkah masuk tiba-tiba ke dalam mikrolet yang berisikan tujuh orang di bagian belakang. Langkahnya terseok-seok menyeimbangi goyangan mobil, badan mungilnya berkali-kali terlempar ke bangku dan lutut-lutut penumpang. Tangan-tangan iba sekaligus gemas menggapai menahan badannya yang kurus, menahannya agar tidak jatuh. Bocah mungil itu dengan acuh terus berjalan hingga ke belakang mikrolet sambil membagi-bagikan amplop kepada setiap penumpang di belakang.

Seluruh mata yang memandangnya langsung mengirimkan sensor ke otak untuk mengeluarkan sejumlah uang pada anak kecil tersebut. Tiga perempuan dewasa menyodorkan uang kepada si bocah, sebelum dia membagikan amplop kepada mereka. "Bental!" tolak bocah perempuan itu, sekali lagi badan kecilnya terlempar ke bangku. Bibir-bibir tersungging melihat betapa lucunya anak ini, begitu kecil, mungkin hanya dua tahun umurnya. Sebagian kembali merogoh lembaran ribuan dan menyodorkan kembali pada si
bocah. "Bental! Bental!" kembali dia menolak, tangannya memegang kuat pada bagian mikrolet yang menopang kaca belakang, matanya menatap polos pada lampu-lampu malam jalanan.

"Ambil ni Dek, saya mau turun nih!" seru seorang perempuan yang duduk di dekat pintu. Tangan mungil itu menyambut lembaran biru yang kucel yang disodorkan untuknya. Ketiga perempuan dewasa yang sebelumnya menyodorkan uang kepada bocah kecil itu kembali memintanya untuk mengambil sedekah mereka.

"Bental...bental..." Bocah kecil itu tetap saja acuh, dan melihat keluar kaca belakang.

"Siapa namanya?" tanya salah seorang dari mereka.
"Ani."
"Ani, ambil ini. Ini dari tante."
"Bentaaal."
"Lho, kalo tante mau turun gimana? Ayo ambil."

Seketika kakaknya yang telah jauh lebih besar yang sedari tadi menyanyi di pintu mikrolet, memberi kode kepada si bocah untuk mulai memunguti lembaran-lembaran dari tangan-tangan penumpang karena mereka sudah harus turun. Bocah kecil itu pun langsung melakukan ritualnya, mengumpulkan amplop-amplop dan kembali berjalan gontai demi menjaga keseimbangan untuk keluar dari mikrolet.

Mata-mata terus memandanginya, dan sejumlah tangan memeganginya ketika ia hampir jatuh. Tapi mata lemah ini, justru memalingkan wajah menahan air yang sudah menggenangi kelopak menunggu untuk jatuh. Adik kecil... berapa umurmu? Sementara darah dagingku mampu hidup enak, bagaimana hidupmu? Kalau kuperbanyak sedekahku untukmu, serigala-serigala lapar di belakangmu akan semakin senang mempekerjakanmu. Tapi kalau tidak kuberi... apa kamu akan makan malam ini?

Air dari kelopak mata tidak mampu lagi tertampung. Seseorang akan diminta hisab atas penderitaan anak-anak itu!

Adik kecil... semoga kamu mendapatkan kehidupan yang jauh lebih baik di akhirat nanti.

4 comments:

None said...

sediiiiiiih....;'(

eh..eh..
kata temen gw kak, kalo lo emang sering ketemu anak2 kecil dan berniat untuk ngebantu, siapin aja makanan buat selama di jalan..
begituuu..

it will be much better to give them food instead of money.. ;))

Diana Saib said...

yayayaya.... tapi skarang dah naik omprengan dah!

foxychain said...

Didieeeeeee..negara nenek moyang gw ini!

Anonymous said...

yay to capitalism ! (sarcasm)

:D