Tuesday, October 16, 2007

KETUPAT LEBARAN DARI GAYO

CHAPTER I

Imam itu membacakan doa dalam bahasa Arab dengan suara dan gaya khas Aceh, atau lebih tepatnya Gayo. Ini imam kalau nyanyi bisa jadi Tompi kedua deh, begitu pikir saya. Sekitar 150 makmum mengaminkan doanya. Saya melihat sekeliling; suarau ini penuh. Bangunan sederhana seluas 13x10 meter ini dibangun dalam bentuk rumah panggung. Lantai dan dindingnya dibuat dari papan kayu pohon pinus, memang itu pohon yang banyak terdapat disini. Dinding dalamnya dicat biru muda, dan putih di bagian luar. Lantai kayunya ditutup dengan tikar-tikar dan sajadah-sajadah panjang. Sebuah lampu kristal sederhana tergantung di tengah langit-langitnya yang dicat putih. Surau ini memang mungil dan sederhana tapi begitu bermanfaat untuk menampung jamaah dalam radius 1 km.

Surau ini menyerong terhadap petak-petak tanah sekelilingnya. Sebelah timur laut adalah sawah dan kebun bawang; sebelah utara dan barat laut adalah rumah penduduk; sebelah barat dan barat daya adalah tanah kosong luas yang sebagian kecilnya dipinjamkan oleh pemiliknya kepada petani kecil untuk berkebun; sedangkan sebelah selatan, tenggara, dan timur adalah rumah dan halaman dari pemilik tanah kosong tadi, rumah dimana saya membayar untuk tinggal.

Saya teringat saat pertama kali mendatangi surau ini bersama Ibu untuk shalat Zuhur, beliau menceritakan bagaimana dulunya surau ini dibangun. " Dulu tanah surau ini tanah kita juga, Diana. Bapak yang menghibahkan untuk dibangun mesjid, mesjid kecil-kecilan aja buat nampung orang kampung." Ibu sangat bangga dengan mendiang suaminya, dan nggak jarang beliau menangis saat bercerita tentang almarhum. Saya sudah banyak mendengar cerita tentang mendiang suami Ibu, bahkan sebelum saya mendengarnya dari mulut Ibu sendiri. Bapak adalah orang yang sangat jujur, begitu yang saya tangkap, bahkan mungkin terlalu jujur untuk bekerja dengan pemerintah daerah yang baru mekar yang masih sangat hijau dan basah. Menurut cerita-cerita dari orang-orang yang berbeda, beliau meninggal akibat diracuni dengan ilmu hitam oleh orang yang tidak senang dengan kejujurannya. Wallahualam bin sawab.

Sang imam membacakan shalawat untuk ajakan tarawih diikuti dengan sautan makmum, dan kami semua berdiri untuk memulai tarawih. Saya menengok ke belakang, surau ini benar-benar penuh bahkan sampai shaf paling belakang. Subhanallah, Bapak memang sudah tiga tahun meninggal tapi berapa banyak pahala yang tetap dia dapat, terus mengalir setiap harinya, setiap surau itu digunakan untuk shalat berjamaah atau sekedar pengajian.

Apa ya tabungan saya kalau sudah jadi seperti Bapak??

***



CHAPTER II

"Ngantuk ya, Dok?" Perempuan itu tengah tersentak dari tidurnya saat saya menengok ke arahnya.

"Iya nih. Udah ketiduran deh saya, ngantuk banget."

Saya tersenyum ke arahnya dan mengamati beliau merapihkan jilbabnya untuk bersiap kalau dipanggil kembali ke ruang praktek, saat itu kami sedang berada di ruang istirahat dokter. Perempuan itu sangat sederhana, mengenakan gamis dan jilbab panjang yang menggantung sampai bawah perutnya, punggung dan telapak kakinya tertutup kaus kaki. Mukanya polos tanpa make up, tapi ntah apa yang membuat beliau bagitu sejuk untuk dilihat.

"Dokter Saripah, ada pasien!!" Seorang perawat memanggil beliau dari pintu kami dengan ketus. Saya melihat ke perawat tersebut dengan tatapan datar, saya tidak senang dengan orang yang tidak senang dengan orang saleh seperti dokter Saripah. Tapi memang begitu lah yang diramalkan Quran, orang-orang muttaqin seperti dokter Saripah tidak pernah lepas dari diperolok-olok dan dimusuhi.

Saya kembali tersenyum saat beliau melewati saya untuk meninggalkan ruangan kami. Diam-diam saya adalah pengagum berat dokter Saripah. Saya banyak mendengar cerita tentang beliau. Perempuan ini adalah ibu dari sembilan anak! Tapi bukan itu yang membuat saya kagum, melainkan bagaimana dia benar-benar bisa menempatkan diri sebagai ibu dan istri yang benar-benar sesuai dengan syariah. Sosok yang baru bisa aya kagumi, tapi nggak yakin bisa saya contoh... he he he!

Dokter Saripah tinggal bersama suami dan kesembilan anaknya di rumah sewaan sederhana di tengah pasar. Dengan penghasilannya sebagai seorang dokter, saya yakin ia sebenarnya mampu menyewa rumah yang jauh lebih bagus dari itu. Disamping jadwal tugas jaga praktek di rumah sakit yang sibuk, di rumah dia masih sanggup mengurus tiga balita dan satu anak remajanya yang terbaring cacat akibat kecelakaan. Malahan menurut cerita beliau, anak-anaknya lebih dekat dengan beliau ketimbang suaminya.

Perawat saya pernah bertanya kepada beliau ketika kami sedang mengobrol di ruang kerja saya tentang cara untuk jadi ibu yang sabar, "caranya banyak-banyak aja istighfar. Anak-anak memang cobaan, tapi kalau mereka minta diperhatikan oleh ibunya itu hak mereka. Saya nggak pernah keberatan kalau anak saya minta gendong walau mereka udah berat juga, memang haknya untuk dipeluk dan digendong ibunya. Anak-anak kecil itu masih dominan terhadap rasa takut, itu tugas ibu untuk membuat mereka merasa aman." Begitu kurang lebih jawab beliau.

Suami dokter Saripah sebenarnya sarjana, tetapi memilih bekerja sebagai penarik becak motor. Dengan profesi yang jauh lebih tinggi dari pekerjaan suaminya, dokter Saripah tidak pernah menganggap remeh malahan tetap tunduk terhadap suaminya. Suaminya melarang beliau berdandan, beliau tidak berdandan. Suaminya melarang beliau menumpang becak motor atau ambulans rumah sakit yang menjemput tanpa ada muhrim yang menemani, beliau pun memilih berjalan kaki ke rumah sakit kecuali kalau memang ada muhrim yang menemain. Dan itu sering menjadi bahan olok-olok orang yang pengetahuannya terbatas.

Beliau dicemooh karena berjalan kaki ke tempat kerja, karena mempunyai demikian banyak anak, ditertawakan karena menyewa rumah kecil di tengah pasar sementara beliau adalah seorang dokter. Padahal Allah menjanjikan surga untuk istri dan ibu seperti dokter Saripah, insyaAllah.

Yaaaaaaaaak... sosok yang baru mampu saya kagumi, tapi bisa nggak ya saya contoh??? He he he... beraaaaatttt!!!

***



CHAPTER III

"Dah makan ko? Ambik pirinng mu makan terus sini!"

"Wah... Diana dah kenyang Pak. He he he..."

"Apa ni? Nggak mau lagi ko makan di sini? Aku benci kali ada orang lapar di rumahku. Ayo ambik piringmu, makan terus sini!"

"Mau kok, Pak. Tapi Diana udah kenyang, suer! Besok deh ya, insyaAllah Diana makan di sini. He he he... Diana ke depan dulu ya, Pak." Saya pun meninggalkan orang tua itu dan berjalan ke ruang tamu rumahnya.

Ruang tamu itu berukuran 3x3 meter, hanya diisi oleh satu set sofa tua dari bahan bludru yang sudah banyak sobekan disana-sini, satu meja tamu kayu beralaskan taplak sulaman sederhana dan vas bunga kecil dengan bunga palsu murah di dalamnya, dan dua buah kursi plastik dengan meja di sisi lainnya. Lantai ruang tamu itu dari ubin tua berwarna kuning dengan permukaan yang kasar, bukan keramik, bukan pula semen. Sisi timur ruang tamu itu dibatasi oles susunan papan kayu tua yang sisi luarnya menghadap ke jalan, dengan pintu di tengahnya yang lebih sering terbuka pada siang hari. Rumah ini sebenarnya adalah rumah toko, tapi digunakan hanya sebagai tempat tinggal oleh pemiliknya.

Saya duduk di atas sofa bludru tua yang menghadap ke jalan, sofa itu sebenarnya sudah kempes dan keras tapi tidak pernah ada yang mengeluh, sofa itu tetap nyaman dan berguna sesuai fungsinya. Saya tersenyum sendiri mengingat bagaimana Bapak selalu memaksa saya untuk makan di rumahnya, nggak beda sama Ibu. Bapak dan Ibu sangat cocok, seperti puzzle yang saling mengisi. Kalau Bapak itu sederhana tapi pendiam, sedangkan Ibu sederhana tapi suka cerita. Keduanya insyaAllah orang-orang saleh, dan saya sangat beruntung mendapati mereka sebagai orang tua angkat selama berada di daerah mereka.

Bapak dan Ibu adalah orang-orang yang sangat sederhana. Bapak bukan orang yang bekerja dan menjadi budak uang, tapi beliau bekerja karena itu ibadah. Beliau adalah pensiunan pegawai negeri dari departemen agama dan pernah menjabat sebagai anggota DPRD pada masa ORBA, tetap saya berani menjamin beiau adalah pegawai negeri yang bersih InsyaAllah, lihat saja bagaimana gaya hidup dan rumah mereka sekarang.

Semenjak pensiun Bapak bakerja untuk mengurus kebun dan kolam-kolam ikannya, bukan untuk menghasilkan uang, tapi untuk sekedar memenuhi kebutuhan keluarga dan kesenangan beliau. Saya pernah mengajak orang tua saya melihat kebun dan kolam-kolam Bapak, dan pikiran kami sama; kebun dan kolam-kolam ini bisa menjadi asset yang menjanjikan kalau Bapak mau. Tapi Bapak lebih memilih mengelola kebunnya kecil-kecilan dan menikmati hasil panennya dengan keluarga.

Beberapa kali orang-orang mencuri hasil kolamnya, tapi ketika salah satu anaknya yang menyumbang untuk membeli makanan ikan marah-marah karena itu, dengan tenang Bapak menjawab, "orang itu nyuri mungkin buat makan. Mungkin mereka memang lapar, ikhlas aja! Ko coba ingat-ingat, jangan-jangan uang yang ko pakai buat beli makan ikan itu nggak bersih."

***

No comments: